KOLEKSI PATUNG & LUKISAN DEPEKA

Bagi saya lukisan dan patung adalah pelabuhan mata, hati, jiwa dan pikiran yang selalu mampu menghadirkan kedamaian, kenikmatan dan kesegaran di sela kesibukan pekerjaan. Meski demikian patung dan lukisan tidak akan pernah bisa menggantikan kecintaan saya pada keluarga sampai kapanpun.

Saya sangat percaya bahwa tidak ada karya seni yang bisa dikatakan jelek. Meskipun demikian saya lebih menghargai karya seni rupa yang lahir sebagai ekspresi jiwa, hasil pemikiran yang mendalam dan dorongan estetika sang perupa yang sempat mengkristal sebelum dipindahkan keatas kanvas yang siap merekamnya tanpa dipengaruhi tujuan komersil yang semata-mata untuk menambah pundi-pundi kekayaan sang perupa.

Saya berusahan untuk tidak mengoleksi karya perupa yang saya ketahui rela melacurkan kreatifitas dengan bantuan tehnologi digital maupun yang sekedar membubuhkan tanda tangan atas karya cantriknya.

Melalui blog ini saya mengajak para pengunjung untuk menghargai karya seni secara jujur dan murni dengan hati, mata dan jiwa namun bukan dengan telinga, bukan karena nama besar sang perupa, bukan sebagai instrumen investasi ataupun bukan sebagai kendaraan mengangkat status sosial.

Selain menampilkan karya perupa anak bangsa, DePeKa Virtual Gallery juga menampilkan beberapa koleksi lukisan karya perupa Asia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa.

De Pe Ka Virtual Gallery juga menampilkan patung batu karya suku SHONA dari Zimbabwe yang merupakan kenang-kenangan dari perjalanan ke Selatan dan Timur Afrika antara tahun 1997 - 2003 untuk dinikmati para pengunjung blog ini.

Mari membuka hati, jiwa dan mata untuk karya Seni Rupa dan nikmati beberapa koleksi DePeKa Virtual Gallery di blogspot ini. Sampaikan komentar anda tentang koleksi saya.

Tips untuk perupa muda berpotensi

Beberapa perupa berpotensi pernah mengajak saya berdiskusi secara terpisah maupun dalam suatu kelompok kecil tentang bagaimana menembus pasar senirupa di Indonesia agar eksistensinya cepat di akui.

Saya akui bahwa saya bukan siapa2 di dunia senirupa namun saya yakin rekan2 yang mengajak saya berdiskusi sebenarnya mengharapkan saya untuk membantu memperkenalkan dan mengapplikasikan konsep pemasaran dalam konteks memasarkan karya seni rupa dari kacamata seorang praktisi pemasaran yang sekaligus juga merupakan penikmat karya senirupa sehingga di harapkan mampu menambah pemahaman para perupa tentang apa yang harus diperhatikan untuk memperbesar peluang sukses memasarkan karya seni rupa.

Seperti memasarkan produk atau jasa lainnya menurut saya memasarkan karya seni rupa juga harus di mulai dengan menyusun SWOT Analysis atau Analisa Kekuatan (Strengths), Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities) and Ancaman (Threats) masing2 perupa berikut karyanya.

Seorang perupa harus memahami kelebihan dan kekurangannya sebagai pribadi maupun karyanya  dari sisi tehnik maupun kualitas penggarapan karya, materi atau media berkreasi yang dipakai, dimensi bidang yang di garap, keleluasaan dalam memilih objek maupun kelompok harga yang baik secara sendiri-sendiri maupun secara totalitas memiliki konsekuensi positif (peluang) dan konsekuensi negatif (ancaman).

Seorang perupa juga harus memiliki konsep yang jelas tentang produk atau karya2 yang ingin dihasilkannya, bukan sekedar memindahkan dorongan estetika tetapi sedapat mungkin memadukan unsur filosofi kedalam karya nya agar menjadi lebih bermakna. Dengan kata lain harus memiliki konsep yang jelas.

Seorang perupa harus terlebih dahulu menggelompokan anggota komunitas seni rupa  menurut lokasi geografis, harapan, pengetahuan, serta keterbatasan anggota komunitas seni rupa sebelum memilih kelompok komunitas mana yang akan di garapnya.  Contohnya: Apakah mau menyasar ke kelompok yang membeli karya seni rupa sekedar untuk dekorasi ruangan, mencari makna fisosofi, mencari makna feng sui, sebagai hadiah untuk kolega, atau murni untuk dikoleksi pribadi dan memuaskan kebutuhan estetika mereka.

Kenali jenis2 atau sifat2 para penikmat atau kolektor senirupa. Penikmat ataupun kolektor karya senirupa setidaknya bisa di kelompokan berdasarkan bagaimana mereka bereaksi terhadap suatu aliran, ukuran karya, objek, level harga tertentu maupun alasan membelinya. Setidaknya kita bisa mengelompokan para penikmat senirupa khususnya para kolektor berdasarkan alasan kenapa mereka menyukai atau membeli (karya senirupa), banyaknya eksposur (pengetahuan, pergaulan dan pengalaman) di dunia senirupa, status ekonomi sosial, lokasi geografis, selera aliran dan gaya hidup mereka. Ini akan mempermudah para perupa untuk menyasar karyanya ke prospek yang tepat.

Bila seorang perupa sudah bisa menyusun pengelompokan para penikmat karya seni rupa maka tugas selanjutnya adalah memilih kelompok mana yang akan di sasar sebagai basis pendukung atau kolektornya. Setelah itu baru secara sistimatis dan konsisten seorang perupa harus berusaha membuat karyanya mudah di jumpai kelompok yang di jadikan sasarannya pada saat yang tepat, di lokasi yang tepat, dengan tema atau objek karya yang tepat, yang di tawarkan pada ukuran serta harga yang tepat.

Saya selalu menemukan pembicaraan tentang harga atau nilai yang pas untuk suatu karya senirupa sebagai topik yang paling sering dan intensif di bahas dalam diskusi kami. Hal ini akan saya bahas secara terpisah berhubung pembahasan nilai suatu karya adalah pembahasan yang sangat rumit dan menarik bagi semua orang. Demikian juga halnya dengan peran gallery seni maupun basis kolektor hingga media massa dalam menunjang keberhasilan seorang perupa akan menjadi topik pembahasan tersendiri dalam waktu dekat.

Banyak perupa berpotensi yang kurang menyadari penting nya pencitraan diri. Saya percaya sebelum seorang perupa mengharapkan eksistensi nya di akui secara estetika maupun secara finansial maka si perupa harus terlebih dahulu menjual dirinya sendiri. Hal ini mengingat nilai suatu karya senirupa dimata para kolektor bukan hanya dari kualitas karya, goresan khas, ukuran, objekmaupun media semata namun juga ditentukan oleh karakter si perupa, tingkat produktifitas dalam berkarya dan latar belakang serta pandangan orang-orang yang berada di sekeliling perupa itu sendiri.

Yang harus di hindari adalah menggantungkan diri secara berlebihan pada kekuatan galeri dalam memasarkan karya seni rupa. Saya berpendapat akan lebih baik membangun basis kolektor secara bergerilya dan memastikan karya di pajang di banyak gallery atau tempat publik. Hindari 'terjebak' kontrak dengan satu galeri untuk jangka waktu yang terlalu lama. Saya kira setidaknya seorang perupa harus memiliki 400 kolektor atau menghasilkan setidaknya 800 karya layak koleksi sebelum memiliki basis harga yang kuat secara fundamental apalagi mulai memikirkan cara 'menggoreng' nilai karya nya.

Hanya bila terpaksa sekali sebaiknya seorang perupa menggantungkan diri ke gallery yang sama secara ekslusif. itupun sebaiknya jangan berkepanjangan sebab bekal jaringan kolektor suatu galeri pasti ada batasnya. Idealnya ikatan dengan galeri maksimum dua - tiga tahun saja untuk meningkatkan eksposur atas karyanya.

Bila memilih untuk bekerja sama dengan galeri maka perhatikan bagaimana menyeimbangkan kebutuhan berekspresi perupa dengan kemampuan galeri memasarkan karya. Jangan sampai kemampuan galeri menjual atau menyerap karya membatasi kebutuhan berekspresi perupa sehingga menimbulkan keresahan hingga perselingkuhan dengan kolektor yang menodai kesepakatan bekerja sama dengan galeri yang seharusnya di dasari prinsip saling menguntungkan dan satu pintu. Waspadai pula jangan sampai galeri terlalu mendikte perupa dalam berkarya.

Pikirkan juga kesulitan yang akan di hadapi bila seusai kontrak dengan galeri seorang perupa harus bisa mempertahankan harga jual karyanya agar kolektor yang pernah membeli di gallery yang menjual secara ekslusif selama masa kontrak tidak merasa di kecewakan karena merasa terlanjur membeli pada harga tinggi di gallery. Jangan sampai seorang perupa 'terjebak' sehingga sulit melepaskan diri dari 'cengkraman' gallery sehingga akan selama nya tergantung pada gallery yang belum tentu memiliki kemampuan tidak terbatas untuk memasarkan seluruh karya sang perupa.

Jangan sampai terjebak dalam 'penggorengan' sebab terkadang kemampuan 'mengoreng' galeri juga terbatas sehingga hanya menyisakan ke kalutan bagi si perupa sebab sudah memiliki sejumlah kolektor yang membeli pada harga gorengan sementara dorongan berkarya maupun kebutuhan keuangan terus meledak dan tidak tertahan sehingga terpaksa melepas karya di bawah harga dan akan merusak tatanan harga yang sudah di bangun galeri. Bukankah kita sudah melihat contoh kasus ini dalam beberapa tahun terakhir?

Perupa juga harus bisa konsekuen dengan setiap perjanjian atau kesepakatan yang di buat dengan galeri maupun kolektor. Jangan tidak menepati janji dengan alasan apapun karena hanya akan merusak reputasi perupa dan mengikis kepercayaan pasar yang notabene dalam lingkaran yang tidak bisa lari kemana-mana.  Betul dunia tidak sekecil daun kelor tetapi banyak sekali orang yang mungkin tidak bisa membantu kita namun bisa menjadi faktor penghambat bila sampai mengeluarkan pandangan2 yang negatif tentang sang perupa sebab secara natural manusia lebih mengingat atau percaya hal2 yang negatif ketimbang hal2 yang positif.

Perupa yang bertanggung jawab tidak seharusnya meminta uang muka atas pemesanan suatu lukisan untuk menghndari wanprestasi karena hal hal di luar kemampuan sang perupa. Selesaikan karya baru tawarkan ke kolektor untuk memastikan tidak ada yang menyesal di kemudian hari.  Apabila sudah menerima uang muka maka harus konsekuen menuntaskan karya yang sudah di pesan kolektor dan menyerahkannya secara tepat waktu sesuai janji awal.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggal kesan dan pesan anda.